Minggu, 29 Mei 2011

REFLEKSI UNTUK ELITE BANGSA


Beribu pertanyaan terbiarkan mengambang di public sehingga misteri menjadi kata yang juga dipakai dalam bahasa politik bangsa, misteri bukan hanya berkaitan dengan sesuatu yang berdimensi mistis tapi juga berkaitan dengan pertunjukan politik yang tidak memiliki alur tapi memiliki agenda-agenda tersembunyi, secara kasat mata terlihat hanyalah pertemuan-pertemuan biasa namun dibalik nya berhamburan bahasa pragmatisme untuk membicarakan bagi-bagi kekuasaan. Itulah misteri politik yang terkadang tidak mampu tertangkap oleh rakyat karena ditutupi dengan indahnya kata-kata retoris. Suatu gambaran betapa nalar dasariah dalam mekanisme demokrasi yaitu rakyat yang menjadi pemegang utama kedaulatan diabaikan, nalar yang dipakai adalah nalar kepentingan kelompok. Karena sejatinya defenisi politik yang dipakai elite bangsa adalah “upaya untuk memperoleh kekuasaan baik dengan cara legal maupun tidak legal” kepentingan kekuasaan adalah utama walau balutan baju partainya mengatas namakan agama, nasionalisme dan lain sebagainya. Karena jargon ideology hanyalah jargon semu untuk membentuk citra semu tapi sejatinya tidak menjadi jiwa seluruh anggota dari suatu komunitas politik (baca partai).

Demi bangsa dan negara, demi rakyat….demikian sekelumit kata-kata populer yang dijadikan kosakata wajib politisi, padahal rakyat tidak lebih dipandang sebagai suatu gambaran angka-angka yang berlabel 1,2 dan seterusnya untuk menjadi suara yang harus diraih, dengan menggunakan segala macam cara sehingga ruh dari suara rakyat yang hakiki tidak mendapatkan ruang dalam logika. Karena pikiran yang berkecamuk adalah bagaimana tujuan-tujuan jangka pendek dapat tercapai hal yang berkait dengan persoalan hubungan jangka panjang dengan rakyat menjadi tidak penting, karena rupiah-rupiah yang dikeluarkan menjadi pengganti dari cara berhubungan dengan rakyat.

Budaya paternalistic yang tidak bisa hilang dalam budaya bangsa menjadikan setitik yang datang dari atas (pemimpin) akan dirujuk dan di rebut untuk dijadikan milik dikalangan bawah, suatu hubungan patron vs client yang tetap terpelihara dan melembaga. pada suatu masa yang di “atas” mampu memberikan ketauladanan maka dibawah akan memperkuat energi untuk merubah kearah yang lebih baik, tapi ketika pada masa kelam dengan tontonan “orang-orang diatas” melakukan kejahatan baik secara terang maupun sembunyi-sembunyi maka energi negatif yang ditimbulkannya akan mengalir deras kebawah sehingga banjir energi negatif akan membawa ketenggelaman rakyat dalam masa yang “hitam”.

Padahal Ketika bangsa ini masih sangat “mudanya” para pendiri bangsa (founding father and mother) sangat mendekat dengan emosi-emosi terdalam rakyat karena pemimpin hidup tanpa batas-batas sekat birokrasi dengan rakyatnya sehingga arus suara dari bawah dipantul kuat dan nyaring dalam dialektika politisi ketika itu, didukung budaya pendidikan saat itu yang mempertegas sikap pembelaan terhadap bangsa sehingga ideology perlawanan menjadikan solidaritas antar elemen walau berbeda warna ideology tidak menjadi penghalang untuk membangun sesuatu yang lebih besar daripada kepentingan kelompok yaitu kepentingan bangsa dan negara, sehingga politik adalah bahasa dari perjuangan bangsa, ketauladanan-ketauladanan yang di tunjukan menjadikan kepercayaan rakyat terhadap pemimpin bangsa begitu tinggi sehingga gerakan bersama untuk mencapai tujuan bangsa berjalan secara massif dari atas kebawah, dari samping atau kedepan sehingga pada masa itu harta benda bahkan nyawa rela diberikan demi bangsa.

Namun sayangnya itu semua adalah masa lalu yang membekas indah dalam catatan sejarah perjalanan bangsa, karena ketika kini situasinya sangat jauh berbeda yang ada adalah politik menjadi wadah untuk meraih kekuasaan semata untuk mencapai tujuan-tujuan materialistic, sehingga politik adalah kata lain dari kriminalitas yang menjadikan politik menjadi daerah yang mengerikan untuk didekati karena mendekatinya membuat bulu kuduk merinding karena banyaknya serigala-serigala penghisap darah rakyat.

Mekanisme demokrasi seperti pemilu hanya dijadikan batu pijakan untuk naik dalam tingkatan berikutnya, ketika semuanya sudah diraih maka pesta pora kesenangan akan dirayakan sedangkan tangis kedukaan rakyat hanya melintasi ruang dengar elite, suara rakyat sangat terdengar pelan karena telinga ditutup dengan target-target mengejar kekayaan dan kekuasaan. Ketika suasana yang terbangun tidak kunjung berubah maka hanya kekaburan yang didapat, berganti pemimpin bangsa tidak juga menjadi kan rakyat lebih sejahtera maka perlawanan-perlawanan muncul secara diam dan tersembunyi, karena tangan rakyat adalah ketidaknampakan, dalam fakta pisik rakyat diam namun dalam pikiran dan tindakan, rakyat menjadi pembangkang terhadap anjuran-anjuran pemimpinnya, pragmatisme yang menjadi kebiasaan pemimpin maka rakyat akan lebih pragmatis, itulah suatu balasan yang diberikan rakyat atas ketidakpedulian pemimpinnya terhadap realitas rakyat.

Rakyat menjadi jenuh dengan segala perhelatan pemilihan pemimpin karena tidak juga datang angin perubahan, masih begitu banyak bertebaran orang miskin disetiap penjuru negeri, masih begitu banyak orang tua yang tidak dapat menyekolahkan anaknya dikarenakan ketiadaan biaya, masih begitu menumpuk pemuda-pemuda putus sekolah yang menganggur sehingga klaim keberhasilan pemimpin negara hanya berada dalam ruang kosong dan menjadikan kesakitan mendalam bagi rakyat, karena fakta direduksi oleh kepentingan-kepentingan pencitraan, data-data dibuat hanya untuk menyenangkan atasan sehingga akan muncullah kebanggaan bahwasanya pemerintahan telah berhasil. notabene dalam kondisi sedemikian segala macam media saluran untuk menumpahkan suara-suara keberhasilan versi penguasa akan bertebaran menutupi keboborokan yang sejatinya adalah fakta.

Rakyat sengaja dibuat bodoh untuk menerima apapun yang nampak tanpa pernah diajak untuk berpikir alternative untuk melihat kelemahan-kelemahan yang ada, keberhasilan menjadi senjata canggih untuk mendapatkan simpati rakyat. Diluar penguasa yang menjabat muncullah tandingan-tandingan opini terhadap kelemahan, sengaja dirancang suatu dialektika untuk menjatuhkan dan “menghabisi” penguasa yang berkuasa, namun track record (jejak rekam) masa lalu terlupakan. Ketika memimpin tidak didapat suatu fakta keberhasilan malahan banyak asset negara dijual, di tempat yang lainnya muncul penantang yang sejatinya berasal dari sistem yang sama dengan penguasa hari ini, namun kecewa karena dianggap hanya dijadikan bumper padahal belum tentu fakta yang diungkap selaras dengan kenyataan yang terjadi, ditambah lagi pasangan-pasangan pendamping yang memiliki berbagai kasus pelanggaran HAM yang tidak pernah tuntas sampai saat ini. Rakyat sengaja dibuat lupa terhadap masa lalu sehingga apa yang ada seolah-olah baru padahal hakikatnya adalah barang lama.

Dinasti yang kuat tertancap di dalam partai-partai tidak memungkinkan munculnya figure-figur baru, yang ada hanyalah keturunan-keturunan yang sengaja diorbitkan untuk menggantikan sang ayah atau sang mama pemimpin partai, terus saja diciptakan suatu kebijakan putra dan putri mahkota dengan alasan partai tidak memiliki figure, diamnya anggota semakin menegaskan bahwa ada kesetujuan terhadap pilihan pemimpin partai. Entah perlu puluhan atau mungkin ratusan tahun rantai-rantai bisa putus untuk memunculkan figure-figur baru yang lebih segar dan memiliki visi yang mumpuni demi membangun bangsa.

Ridwansyah

Ketua PKSPM Kalimantan Barat

Member JCI Kalbar

Tidak ada komentar: