Senin, 10 Februari 2014

Menjadikan Sosial Media (sosmed) sebagai pemelihara opini kritis publik

Masyarakat sekarang ini sudah semakin kritis, dalam artian mampu dan mau untuk menyikapi suatu kebijakan dan kondisi yang di akibatkan pemerintah. Artinya demokrasi sudah menjadi suatu trend dalam aktifitas keseharian masyarakat kita. Apakah demikian adanya? Melihat kecenderungan belakangan tentunya hal diatas sedikit banyak ada benarnya, ruang untuk masyarakat mengkespresikan pendapat dan gagasan sangat melimpah mulai dari jejaring social, media cetak dan elektronik. Tidak heran misalnya kita melihat melalui Facebook atau twitter, broadcast bbm bisa sangat cepat respon masyarakat terhadap suatu hal, jalan yang rusak, kenaikan harga BBM, biaya pendidikan mahal, isu korupsi dll. Namun apakah trend ini hanya mencipta suatu masyarakat yang penggerutu? Sejatinya hal ini menjadi energy yang luar biasa dalam konteks demokrasi tapi harusnya tidaklah hanya menjadi gerakan bicara semata idealnya harus menjadi gerakan yang terarah dan memiliki target. Saya membaca sebuah buku tentang revolusi damai di Filipina, melalui radio mampu menggerakan ratusan ribu massa untuk melawan kekuasaan yang zalim. Sehingga kemudian gerakan tersebut berhasil menghasilkan sesuatu (perubahan rezim dengan damai). Nah kalau menilik apa yang terjadi di Negara ini dengan sedemikian banyaknya persoalan tentunya kekritisan masyarakat yang sudah semakin terasah idealnya musti menjadi gerakan massa untuk melakukan suatu perubahan. Kita masih ingat issu kriminalisasi KPK, kasus prita dengan rumah sakit Omni dll. Di dua contoh tersebut gerakan massa melalui media massa atau social media (FB,Twitter,Wechat, link, google+) sangat efektif mempengaruhi opini sehingga puncaknya target gerakan dapat tercapai dengan sukses. Memang didalam perubahan social tentu harus ada actor yang menggerakan, memulakan. Namun dengan perkembangan media transportasi dan komunikasi, actor-aktor perubahan tersebut tidaklah musti mereka-mereka yang sudah memiliki nama besar, ordinary people (orang biasa) juga dapat menjadi penggerak, asal kemudian kontinuitas untuk memelihara opini tersebut terus mendapat sokongan terutama dari media massa. Sehingga peran jurnalis menjadi demikian vital untuk memiliki daya peka dan daya kritis yang sama dengan apa yang di sampaikan masyarakat, karena tentu semua kita sudah memahami bahwa media massa merupakan watch dog (anjing penjaga) dalam demokrasi, yang setiap saat jika diperlukan dapat “menyalak”dengan lantang terhadap suatu hal yang dianggap tidak peka terhadap nurani public. Maksud saya kalau kita mau memetakan beberapa issu strategis yang sedang dihadapi bangsa ini, misalnya issu korupsi. Kalau kita meyakini bahwa issu korupsi harus terus digaungkan maka “pelibatan” public musti semakin diperluas, melalui media yang concern terhadap issu korupsi maka tidak akan menghilang begitu saja kasus korupsi yang katanya menyengsarakan rakyat. Kita rasanya cenderung menganggap biasa saja berita-berita yang ditampilkan di Televisi namun ternyata rakyat juga sangat peka sehingga ikut memelototkan mata dan menahan amarah jika ada pejabat yang korup, kalau kita berkeliling kampung sekarang ini tidak heran kalau banyak masyarakat kita yang tahu apa itu KPK, siapa itu Anas Urbaningrum, Nazarudin, Hambalang, Century. Kata-kata tersebut karena selalu diulang-ulang tentu kemudian menjadi menebal dalam ingatan publik, dalam hal ini titik keberhasilan opini media tidak bisa dinegasikan. Itu salah satu contoh tentang suatu issu yaitu korupsi, nah menjelang pemilu legislative 9 April 2014 tentunya kita harus nya menjadikan ini sebagai issu strategis lainnya bagi bangsa, titik strategisnya pemilu legislative tidak usah dibahas lagi karena kita semua paham bahwa moment tersebut menjadi suatu titik awal untuk melakukan rekruitmen politik rakyat yang bakal memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di legislative baik ditingkat daerah sampai ke pusat, opini tentang strategisnya moment pileg harus nya terus menerus dipelihara, dan bahkan harus menjadi target untuk menghasilkan suatu pileg yang berkualitas proses dan kualitas hasil. Target yang musti kita jadikan opini bersama adalah terpilih nya wakil rakyat yang berkualitas, jadi social media harus menjadi trigger (pemicu) untuk memboomingkan opini ini, karena kalau dalam ranah gerakan itu nanti ada kawan-kawan mahasiswa dan LSM yang bisa mengkreasi lebih lanjut. Akhirnya kalau kita semua menyadari bahwa pemilu legislative menjadi moment awal bagi perubahan nasib bangsa untuk lebih baik maka semustinya kita juga memelihara opini ini terus menerus agar bisa sampai ke seantero rakyat, bukan hanya di kota-kota besar bahkan sampai ke pelosok kampung. Dengan harapan pada tanggal 09 April 2014 masyarakat memilih wakil rakyat yang benar-benar berkualitas. Semoga. Ridwansyah Ketua Pusat Kajian dan Study Pemberdayaan Masyarakat

Rabu, 15 Juni 2011

INDAHNYA PERBEDAAN


Sering kita dengar bahwa taman bunga tidak akan indah kalau hanya di isi oleh satu warna dan satu jenis bunga saja, malahan yang membuat taman bunga indah karena banyak warna warni bunga serta jenis yang beragam. Perbedaan itulah yang membuat taman bunga terlihat menarik. Jika perumpamaan taman bunga tadi di jadikan contoh dalam kehidupan tentu mendapatkan perwujudannya secara logis, sejatinya manusia hidup dengan perbedaan baik dari latar belakang agama, ekonomi, etnis dan segala perbedaanya membuat manusia hidup dalam keberagaman. Keberagaman tidak bisa dihindari karena keberagaman adalah sunatullah atau sesuatu yang terjadi secara alami. Jangan kan dari aspek luar yang tegas membuat perbedaan dari hal yang tidak kasat mata perbedaan adalah keniscayaan misalnya pikiran yang merupakan sesuatu yang tidak nyata akan berbeda antara satu manusia dengan manusia lainnya. Sekali lagi berbeda adalah keniscayaan bahkan perbedaan membuat hidup lebih indah.
Tetapi dalam kenyataan kita sering menyaksikan perbedaan memicu konflik yang bahkan merenggut korban nyawa, perbedaan dijadikan alasan untuk melakukan tindak kekerasan karena ada keinginan untuk memaksakan apa yang dimiliki untuk dimiliki juga oleh orang lain keinginan untuk membuat keseragaman menjadikan perbedaan disingkirkan bahkan bila perlu dengan cara yang tidak manusiawi sekalipun.
Dunia ini sudah sangat penuh dengan cerita konflik akibat perbedaan, di luar negeri kita banyak sekali contoh konflik akibat tidak siap berbeda dan keinginan untuk membuat keseragaman, bosnia herzegovina dengan konflik serbia nya, konflik suku huttu dan tutsi di Rwanda, konflik irlandia dengan perbedaan antara katolik dan protestan, konflik somalia dengan suku nya, bahkan afrika selatan pernah punya sejarah kelam dengan perbedaan yaitu perbedaan warna kulit yang menyebabkan pemisahan kelompok kulit hitam dan kulit putih atau lebih dikenal dengan politik apartheid nya semuanya terjadi di luar sana, namun contoh di negara ini juga tidak kalah banyak nya konflik akibat perbedaan seperti yang terjadi di Ambon, Poso, Kalimantan barat, pernah punya sejarah konflik yang mengerikan akibat perbedaan.
Di era orde baru kita sering diingatkan suatu kalimat sakti “berbeda-beda tetapi satu juga” yang diambil dari bahasa sansekerta bhinneka tunggal ika, tidak ada yang salah dengan pernyataan dan pengertian kata tersebut namun secara faktual yang ditonjolkan ketika orde baru adalah persatuannya sedangkan perbedaanya di tekan se sempit mungkin, sehingga hal-hal yang bersifat lokal harus dikalahkan oleh sesuatu yang bersifat nasional, persoalannya adalah penerimaan terhadap kenasionalan tidak dalam kerangka “keikhlasan” yang terjadi adalah “pemaksaan” bahkan pemaksaan dilakukan secara sistematis. Akibat dari pemaksaan kenasionalan memang membuat tenang untuk sesaat karena kita seolah olah dipaksa untuk menerima keragaman, keragamaan memang memiliki sifat “menenangkan” ia seperti morphin yang menghilangkan rasa sakit, tetapi morphin tidak bertahan dalam waktu yang lama setelah efek obatnya habis maka kesakitan yang sejati akan terasa.
Kita merasakan kenikmatan hidup dalam keseragaman, tetapi hal tersebut tidak menyelesaikan masalah karena kenyataanya hidup adalah keberagaman, maka di tengah-tengah masyarakat yang sejatinya sangat majemuk mereka hidup dalam kegamangan karena di satu sisi kenyataan adalah keberbedaan disisi yang lain keragaman harus dijalankan, maka masyarakat hidup dalam kondisi keterbelahan psikology atau dikenal dengan kondisi split personality , sehingga tidak mengherankan banyak perilaku aneh yang menghinggapi masyarakat di satu sisi mereka adalah pribadi yang ramah tetapi di alam bawah sadarnya mereka adalah pribadi yang sangat liar karena terkadang mereka tidak melihat keselarasan antara keseragaman dengan pengalaman kehidupan sehari-hari.
Ketika sampai pada suatu masa masyarakat telah jenuh dengan pemaksaan kehendak penguasa, maka keinginan untuk memberontak tidak tertahankan, walau aparat sangat represif untuk mengamankan kebijakan penyeragaman namun pikiran yang bebas merdeka selalu mendapat ruang untuk berdialog sehingga letupan keinginan untuk bebas mewujud dalam bahasa reformasi yang digaungkan mahasiswa.
Akhirnya rezim orba pun lengser ke prabon, alam reformasi pun telah membawa angin baru yaitu angin yang memberi ruang untuk berekspresi, reformasi membawa dampak peluang kelokalan mendapatkan tempat. Yang mengerikan ketika reformasi terjadi, energi kemajemukan yang bersifat potensial waktu orde baru kemudian secara tiba-tiba sumbat nya terlepas sehingga energi potensial menjadi banjir energi gerak yang begitu hebat, dampaknya banjir terjadi ditengah masyarakat kita, banjir keberbedaan. Kontradiksinya adalah ketika orde baru yang ditekankan adalah keseragaman, pada era reformasi keberbedaan yang mengedepan, suatu kondisi yang pada aspek tertentu bisa dimafhumi. Mengapa? Karena setelah sekian lama keberbedaan dipasung maka pada era reformasi keberbedaan mendapatkan momentumnya, pada saat kepemimpinan bangsa tidak dapat mengelola keberbedaan yang dimiliki bangsa sebagai pemerkuat NKRI maka kenyataan yang terhampar dihadapan adalah begitu kuatnya letupan keberbedaan. Sekarang kelokalan yang bergantian memaksakan diri untuk dapat menjadi milik bersama, di daerah aspek kelokalan (locality aspect) saling berebut pengaruh dengan balutan politik, kelokalan itu menjadi bumbu untuk memenangkan kekuasaan, di era orde baru taboo membicarakan keberbedaan di era reformasi pembicaraan keberbedaan paling mengemuka.
Kemudian di pikiran kita mengemuka bagaimana sejatinya kita memandang keberbedaan dan keragaman, dua kata yang sama-sama ketika masa lalu dan masa kini menjadi masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik ini. Menurut penulis harusnya dua hal tersebut tidak boleh di tempatkan secara ekstrim dan menegasikan (mengenyampingkan) yang lain karena keduanya adalah suatu kenyataan. Keragaman pun perlu di bangun dengan elegan dan cerdas, karena keragaman yang mengalir dari keinginan bersama akan membantu terwujudnya ikatan dalam kehidupan kebangsaan misalnya kita harus menerima keseragaman symbol Negara, keseragaman lagu kebangsaan, keseragaman mata uang, karena beberapa hal tersebut adalah suatu perwujudan kebermilikan terhadap ikatan kebangsaan. Namun disi sisi yang lain keberbedaan yang juga kenyataan harus diberi ruang untuk hidup Karena keberbedaan adalah hal yang bersifat primordial yang akan membantu masyarakat memahami kesejarahan nya, bahkan dengan keberbedaan budaya misalnya dapat menjadi asset bangsa yang luar biasa untuk potensi wisata budaya dan lain sebagainya.

Untuk menghilangkan potensi aspek primordial menjadi suatu bentuk primordialisme yang sempit, atau bahkan chauvinist maka ideology kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat harus di lembagakan melalui institusi pendidikan dan dalam perilaku hidup sehari-hari, sederhananya walaupun kita memiliki perbedaan dalam berbagai aspek tapi keinginan untuk membangun secara bersama-sama harus menjadi kepentingan utama. Kemudian pentingnya dibangun sikap saling menghargai dalam keberbedaan harus menjadi kebiasaan yang hidup ditengah masyarakat. Dan yang juga penting adalah para elite agar tidak menjadikan isu-isu yang bersifat primordial menjadi jualan untuk memenangkan kekuasaan, karena kelokalan ketika di panas-panasi akan sangat mudah terbakar dan menjadi konflik terbuka. Secara pribadi penulis berpendapat bahwa konflik yang terjadi selama ini lebih banyak bumbu politik nya dibandingkan konflik yang berasal dari masyarakat. Karena saya meyakini bahwa masyarakat kita sudah terbiasa hidup harmonis dalam keberbedaan, oleh karena itu yang masih harus banyak belajar memahami perbedaan sejatinya adalah elite politik.

RIDWANSYAH
KETUA PUSAT KAJIAN DAN STUDY PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PKSPM)
KALIMANTAN BARAT